Bicara pengalaman,jadi ingat masa-masa
pertama datang ke kota metropolitan ini. Jakarta. Yang hanya berbekal setumpuk
uang tak menjanjikan,dan serpihan-serpihan mental sisa sekolah Madrasah dulu.
Aku berusaha untuk tetap hidup layak demi mencapai prioritas hidup,kesuksesan.
Jauh dari rencana awal,untuk tetap bisa kuliah dimanapun itu. Dan takdir
menegaskanku untuk melanjutkan kuliah disalah satu universitas bergengsi di
daerah Jakarta Barat. Adalah semangat yang menggebu sebagai salah satu motif
utamaku untuk bertahan dan melanjutkan kuliah secara gratis. Pertentangan kuat
dari kedua orang tua,yang memang hanya bekerja serabutan setiap harinya tak
sanggup meng-iyakan keinginanku kuliah di Jakarta. Dan entah keyakinan apakah
yang Allah berikan hingga akhirnya aku bisa tetap kuliah dan mendapat beasiswa
penuh. Alhamdulillah,ramadhan pertama ku di tahun 2013 adalah pengalaman yang
tak pernah terlupakan. Dengan hanya bermodalkan uang saku perbulannya enam
ratus ribu rupiah,aku harus mampu mengaturnya dengan baik. Terlebih biaya hidup
di Jakarta yang serba mahal. Dan aku buat kondisi itu tetap membaik.
Buka puasa pertamaku hanya bisa
membeli es batu dan menyeduh teh seadanya. Adalah buka puasa yang paling nikmat
sepanjang ongkos yang aku keluarkan tak begitu banyak. Jadi ingat,saat dulu aku
merindukan masa-masa berbuka di rumah bersama Ibu dan kedua adikku. Ingin
ini,ingin itu,semua bisa terselesaikan. Tidak untuk saat itu. Selalu kuurungkan
niat untuk sekedar membeli es buah. Kembali berkutat dengan es batu dan teh
manis. Tak jarang aku menangis setiap kali Ibu menanyakan kabar dan menu
berbuka saat itu. “yang penting Ibu makan
enak disana,aku baik-baik saja bu” fikirku. Uangku tak bisa dinegosiasikan
lagi.sakit ini bukan sebab sakit tak terisi makanan-makanan enak. Melainkan
sakit sebab memikirkan dengan uang mana lagi harus kuhabiskan makanan itu. aku
harus bertahan. Yakin jika Allah Sang Pemilik segalanya tak pernah tidur.
Malam-malam sahurku mulai ditemani oleh sepiring nasi dan sebungkus garam
persediaan mendesak. Dan ternyata,waktu inilah desakannya. Ingat kata ibu,saat
semua makanan termasuk nasi campur garam pun kan tetap nikmat saat kita selalu
bersyukur dan merasakannya sebagai berkah Allah SWT. Aku selalu menerapkan itu.
Sekali lagi,uangku sudah tak
berbilang. Tak mungkin aku meminta ayah hanya untuk mengirimkan uang jatah
bulanan. Kalaupun ada sudah pasti kugunakan untuk keperluan tiket kreta pulang
libur nanti. Allah selalu bersamaku. Hari-hari puasa tetap kunikmati dengan
jadwal kuliah semester pendek awal yang menyenangkan. Masih banyak rejeki
nanti,fikirku. Tak jarangpula aku me-lobby
salah satu teman secara bergantian dengan cara ikut berbuka puasa dirumah
mereka. Alhamdulillah,Allah memudahkan. Bukan rencana buruk,melainkan ide
kreatif yang kujadikan satu bentuk usaha agar aku tetap bertahan hanya untuk
sesuap nasi. Sahurku sudah tak diisi lagi dengan nasi dan garam.melainkan hanya
2 sampai 3 gelas air putih setiap
waktunya. Itu indah. Sangat indah. Hingga akhirnya waktu liburanku tiba.
Sesampainya dirumah langsung kupeluk Ibu yang
juga tersentak sebab pelukannya
yang terlalu erat. “Aku merindukanmu bu”,
Ucapku dalam hati. Allah Maha Segalanya.
”Dan nikmat Tuhan mana lagi yang Engkau
dustakan?”
(Q.S. Ar-Rahman)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar