Namaku Ina. Aku memiliki dua
saudara perempuan. Yang pertama Nana,dan Lala yang kedua. Kami tinggal bersama
Mama. Ya. Anak-anak brokenhome. Begitu orang-orang sekitar
menyebutnya. Aku dan kedua adikku masih sekolah. Aku masih SMA,Nana SMP,dan
Lala adik kecilku masih sekolah dasar. Kami hanya berempat dalam rumah. Rumah
yang tak begitu kecil. Namun tak juga besar. Cukup. Untuk kita tinggal sementara.
Maklum,ini hanya rumah kontrakan. Kontrakan bekas rumah kita sendiri. Sebab
seusai perceraian kedua orang tuaku,rumah ini dijual untuk melunasi
hutang-hutang Ayah yang entah apa saja. Bisa dibilang,aku baru merasakan
masa-masa genting seperti saat ini. Begitu juga adik-adikku. Sebab dulu kita
masih bisa merasakan makan di mal,café,dan sejenisnya. Tapi kini,cukup makan
dirumah saja. Apa adanya. Mama tak pernah mencontohkan kami sifat tinggi hati.
Ia selalu menerapkan bahwa hidup ini terus berputar mengikuti waktunya. Hingga
pada akhirnya kita semua akan ditenggelamkan bumi untuk dipertanyakan apa-apa
yang telah dimakan selama ini. Semenjak perceraian,biaya hidup kami
berantakan. Ayah yang tak memberikan apa-apa dan Mama yang tak bekerja. Saat
itulah jiwa pria mama muncul. Untuk menaungi dan menafkahi. Pria mana lagi yang
harus ia andalkan untuk bisa menfkahi anak-anaknya? Sebab menikah kembali bukan
jalan keluar. Mama mencoba berjualan nasi di Pasar dan menjualkan barang-barang
dagangan disana. Hasilnya lumayan,bisa untuk makan hari itu. Perputaran uang
memang seperti itu saja. Tak puas,Mama bekerja di rumah tetangga hanya untuk
sekedar mencuci baju dan menyetrika. Ada tawaran lainpun Ia mengiyakan
untuk mempacking madu kedalam toples-toples kecil dalam jumlah yang
lumayan banyak. Ternyata tenaganya masih ada. Ia berinisiatif untuk memberikan
jasa tumpangan motor atau ojeg untuk antar jemput anak-anak sekolah
dasar. Begitu seterusnya.
Hingga pada suatu ketika mama
jatuh sakit,dokter bilang Ia terkena Diabetes dan harus dirawat inap. Mama tak
sanggup. Kami yang mengantarkannya waktu itu hanya berdoa semoga malaikat kami
selalu dimudahkan urusannya dan diberi kesembuhan atas penyakitnya. Mataku
berkaca. Mengingat hingga saat itu tak ada kabar dari Ayah. Entahlah. Apalah
arti kami untuknya saat itu. Sedang kami benar-benar membutuhkan pertolongan.
Sering Aku mencerca Tuhan,mengapa harus keluarga kami yang seperti ini.
Astaghfirullah.. Tuhan tak pernah tidur. Sekalipun hambanya sakit dan
kesusahan. Kupeluk Nana dan Lala yang masih terlihat lugu. Kebahagiaan yang
entah kan seperti apa untuk standar kita nanti. Mama menolak tawaran dokter
untuk rawat inap. Ia memilih untuk membeli obat dan diet saja. “Kalau Mama
dirawat siapa yang mencari uang buat kalian” Ucap Mama. Sudahlah. Kesedihan ini
takkan pernah berhenti sampai kapanpun. Jika kita terlalu larut didalamnya.
Pagi menjelang dan petang
beriringan datang. Hari tak pernah berhenti seperti kita yang selalu mencari.
Mencari berkah rezeki serta bahagia dari Tuhan. Layaknya manusia lain. Mama
melanjutkan aktifitasnya yang sudah tak berjualan nasi lagi. Kini ia berjualan
dipasar memasarkan barang dagangan orang. Mama bilang tenaganya terkuras banyak
jika berjualan nasi. Akhirnya ia melanjutkan aktifitas dengan ngojeg dan packing madu.
Gajinya tak seberapa. Benar-benar cukup untuk makan hari itu saja. Sesekali
mama masak ayam goring,sayur sop,dan menu nikmat lainnya untuk kami. Meskipun
kondisi Mama yang diharuskan diet,namun mama tak jarang makan makanan anak-anak
yang jadi pantangannya. “ya gimana lagi,mama juga bosen dek makan itu aja” Kata
Mama setiap kali kita tegur untuk mengontrol diet makanannya. Nana adik
pertamaku yang duduk di bangku SMP,selalu menyelipkan uang jajannya untuk
keperluan membeli buku. Sering ia rela menghabiskan waktu istirahatnya dikelas
hanya untuk menahan rasa lapar dan keinginan membeli makanan ringan atau
semacamnya. Pernah ia memintaku untuk membelikannya buku dan peralatan sekolah
lain,namun aku tak pernah menurutinya. Ya,uang jajanku saat itu juga tak
seberapa. Hanya cukup untuk membeli peralatan dan makan secukupnya. Ya,karena
saat itu aku berada di pondok pesantren jadi beban makan dan kebutuhan lain
harus benar-benar bisa hemat. Dan Lala,adik kecilku. Ia bahkan hampir tak
membelikan uang sakunya untuk membeli makanan ketika istirahat setiap harinya.
Ia hanya melihat kawan-kawannya lalu-lalang membeli makanan dan dia hanya diam
saja. Karena ia tahu uang saku yang dibawanya bisa untuk membayar uang
tunggakan sekolahnya. Andai Ayah tahu,kami benar-benar membutuhkan
pertolongannya. Tapi sampai saat itupun Ayah masih tak pernah datang hanya
untuk sekedar bertemu dan member uang. Kami kesal. Tapi Mama percaya. Ayah tak
meninggalkan kita. Meski kita tak pernah tahu keadannya sama atau tidak. Mama,adalah
wanita inspirasi kita,aku dan adik-adik. Kita tak berani meminta banyak
terlebih masalah uang. Tapi mama tahu,yang kita inginkan. Saat itulah Mama
mulai menggoreng krupuk untuk dijual di warung makan. Sesekali mama menambahkan
menu masakannya untuk dititipkan pula. Lumayan. Bisa untuk tambahan uang makan
sehari-hari. Pernah Nana dan Lala berinisiatif untuk berjualan sendiri didepan
rumah. Ya,sosis bakar ala-ala. Mama membelikannya sosis dipasar dan
mereka,adik-adikku menjualnya kepada teman-teman sekitar rumah. Seribu rupiah
saja. Tapi itu sudah cukup untuk membuat mereka puas mendapatkan uang hasil
jualan ala-alanya untuk uang saku mereka sekolah. Alhamdulillah. Tuhan tak
pernah lengah sedetikpun. Mama terus berjuang dan selalu memberikan pesan moralnya
pada kami. Terlebih adik-adikku. Ia tak merasakan kebersamaan sepasang orang
tua dimasa kecilnya. Lala,sering kali bertanaya padaku,bagaimana Ayah ketika
dulu aku kecil. Diajak jalan-jalankah, diajak becandakah, diantarkan
sekolahkah, dinina bobokankah? Mataku berkaca. Sesakit itukah yang mereka
rasakan. Mama mendengar percakapan kita. Ia menangis. Meminta maaf. Memelukku
dan adik-adik. Erat. “Maafkan Mama nak,maafkan. Mama minta maaf belum bisa
menjadi Ibu yang baik untuk kalian. Yang belum bisa menjaga rumah tangganya.
Menyakiti hati anak-anaknya. Maafkan Mama nak,maafkan” Kata-kata Mama yang tak
bisa kulupakan. Begitu juga Nana dan Lala. Semenjak itu mereka tak pernah
mempertanyakan apa dan mengapa. Semua tersimpan dihati. Ya dihati. Kami tahu kami
berbeda dengan keluarga dan anak-anak seusia lain. Tapi Mama kami tetap tak ada
bandingannya. Ia adalah Ibu dan Ayah bagi kami. Aku,Nana dan Lala. Ayah masih
ada. Masih bekerja untuk hidupnya. Mungkin juga untuk anak-anaknya. Tapi Mama
tak pernah meninggalkan kita. Meski hanya sesuap nasi hasil ngojeg dan
jualan kerupuknya. Ia tetap wanita perkasa dihidupku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar