Kamis, 28 Juli 2016

Dia, Wanita Perkasaku!

Namaku Ina. Aku memiliki dua saudara perempuan. Yang pertama Nana,dan Lala yang kedua. Kami tinggal bersama Mama. Ya. Anak-anak brokenhome. Begitu orang-orang sekitar menyebutnya. Aku dan kedua adikku masih sekolah. Aku masih SMA,Nana SMP,dan Lala adik kecilku masih sekolah dasar. Kami hanya berempat dalam rumah. Rumah yang tak begitu kecil. Namun tak juga besar. Cukup. Untuk kita tinggal sementara. Maklum,ini hanya rumah kontrakan. Kontrakan bekas rumah kita sendiri. Sebab seusai perceraian kedua orang tuaku,rumah ini dijual untuk melunasi hutang-hutang Ayah yang entah apa saja. Bisa dibilang,aku baru merasakan masa-masa genting seperti saat ini. Begitu juga adik-adikku. Sebab dulu kita masih bisa merasakan makan di mal,café,dan sejenisnya. Tapi kini,cukup makan dirumah saja. Apa adanya. Mama tak pernah mencontohkan kami sifat tinggi hati. Ia selalu menerapkan bahwa hidup ini terus berputar mengikuti waktunya. Hingga pada akhirnya kita semua akan ditenggelamkan bumi untuk dipertanyakan apa-apa yang telah dimakan selama ini. Semenjak perceraian,biaya hidup kami berantakan. Ayah yang tak memberikan apa-apa dan Mama yang tak bekerja. Saat itulah jiwa pria mama muncul. Untuk menaungi dan menafkahi. Pria mana lagi yang harus ia andalkan untuk bisa menfkahi anak-anaknya? Sebab menikah kembali bukan jalan keluar. Mama mencoba berjualan nasi di Pasar dan menjualkan barang-barang dagangan disana. Hasilnya lumayan,bisa untuk makan hari itu. Perputaran uang memang seperti itu saja. Tak puas,Mama bekerja di rumah tetangga hanya untuk sekedar mencuci baju dan menyetrika. Ada tawaran lainpun Ia  mengiyakan untuk mempacking madu kedalam toples-toples kecil dalam jumlah yang lumayan banyak. Ternyata tenaganya masih ada. Ia berinisiatif untuk memberikan jasa tumpangan motor atau ojeg untuk antar jemput anak-anak sekolah dasar. Begitu seterusnya. 
Hingga pada suatu ketika mama jatuh sakit,dokter bilang Ia terkena Diabetes dan harus dirawat inap. Mama tak sanggup. Kami yang mengantarkannya waktu itu hanya berdoa semoga malaikat kami selalu dimudahkan urusannya dan diberi kesembuhan atas penyakitnya. Mataku berkaca. Mengingat hingga saat itu tak ada kabar dari Ayah. Entahlah. Apalah arti kami untuknya saat itu. Sedang kami benar-benar membutuhkan pertolongan. Sering Aku mencerca Tuhan,mengapa harus keluarga kami yang seperti ini. Astaghfirullah.. Tuhan tak pernah tidur. Sekalipun hambanya sakit dan kesusahan. Kupeluk Nana dan Lala yang masih terlihat lugu. Kebahagiaan yang entah kan seperti apa untuk standar kita nanti. Mama menolak tawaran dokter untuk rawat inap. Ia memilih untuk membeli obat dan diet saja. “Kalau Mama dirawat siapa yang mencari uang buat kalian” Ucap Mama. Sudahlah. Kesedihan ini takkan pernah berhenti sampai kapanpun. Jika kita terlalu larut didalamnya.
Pagi menjelang dan petang beriringan datang. Hari tak pernah berhenti seperti kita yang selalu mencari. Mencari berkah rezeki serta bahagia dari Tuhan. Layaknya manusia lain. Mama melanjutkan aktifitasnya yang sudah tak berjualan nasi lagi. Kini ia berjualan dipasar memasarkan barang dagangan orang. Mama bilang tenaganya terkuras banyak jika berjualan nasi. Akhirnya ia melanjutkan aktifitas dengan ngojeg dan packing madu. Gajinya tak seberapa. Benar-benar cukup untuk makan hari itu saja. Sesekali mama masak ayam goring,sayur sop,dan menu nikmat lainnya untuk kami. Meskipun kondisi Mama yang diharuskan diet,namun mama tak jarang makan makanan anak-anak yang jadi pantangannya. “ya gimana lagi,mama juga bosen dek makan itu aja” Kata Mama setiap kali kita tegur untuk mengontrol diet makanannya. Nana adik pertamaku yang duduk di bangku SMP,selalu menyelipkan uang jajannya untuk keperluan membeli buku. Sering ia rela menghabiskan waktu istirahatnya dikelas hanya untuk menahan rasa lapar dan keinginan membeli makanan ringan atau semacamnya. Pernah ia memintaku untuk membelikannya buku dan peralatan sekolah lain,namun aku tak pernah menurutinya. Ya,uang jajanku saat itu juga tak seberapa. Hanya cukup untuk membeli peralatan dan makan secukupnya. Ya,karena saat itu aku berada di pondok pesantren jadi beban makan dan kebutuhan lain harus benar-benar bisa hemat. Dan Lala,adik kecilku. Ia bahkan hampir tak membelikan uang sakunya untuk membeli makanan ketika istirahat setiap harinya. Ia hanya melihat kawan-kawannya lalu-lalang membeli makanan dan dia hanya diam saja. Karena ia tahu uang saku yang dibawanya bisa untuk membayar uang tunggakan sekolahnya. Andai Ayah tahu,kami benar-benar membutuhkan pertolongannya. Tapi sampai saat itupun Ayah masih tak pernah datang hanya untuk sekedar bertemu dan member uang. Kami kesal. Tapi Mama percaya. Ayah tak meninggalkan kita. Meski kita tak pernah tahu keadannya sama atau tidak. Mama,adalah wanita inspirasi kita,aku dan adik-adik. Kita tak berani meminta banyak terlebih masalah uang. Tapi mama tahu,yang kita inginkan. Saat itulah Mama mulai menggoreng krupuk untuk dijual di warung makan. Sesekali mama menambahkan menu masakannya untuk dititipkan pula. Lumayan. Bisa untuk tambahan uang makan sehari-hari. Pernah Nana dan Lala berinisiatif untuk berjualan sendiri didepan rumah. Ya,sosis bakar ala-ala. Mama membelikannya sosis dipasar dan mereka,adik-adikku menjualnya kepada teman-teman sekitar rumah. Seribu rupiah saja. Tapi itu sudah cukup untuk membuat mereka puas mendapatkan uang hasil jualan ala-alanya untuk uang saku mereka sekolah. Alhamdulillah. Tuhan tak pernah lengah sedetikpun. Mama terus berjuang dan selalu memberikan pesan moralnya pada kami. Terlebih adik-adikku. Ia tak merasakan kebersamaan sepasang orang tua dimasa kecilnya. Lala,sering kali bertanaya padaku,bagaimana Ayah ketika dulu aku kecil. Diajak jalan-jalankah, diajak becandakah, diantarkan sekolahkah, dinina bobokankah? Mataku berkaca. Sesakit itukah yang mereka rasakan. Mama mendengar percakapan kita. Ia menangis. Meminta maaf. Memelukku dan adik-adik. Erat. “Maafkan Mama nak,maafkan. Mama minta maaf belum bisa menjadi Ibu yang baik untuk kalian. Yang belum bisa menjaga rumah tangganya. Menyakiti hati anak-anaknya. Maafkan Mama nak,maafkan” Kata-kata Mama yang tak bisa kulupakan. Begitu juga Nana dan Lala. Semenjak itu mereka tak pernah mempertanyakan apa dan mengapa. Semua tersimpan dihati. Ya dihati. Kami tahu kami berbeda dengan keluarga dan anak-anak seusia lain. Tapi Mama kami tetap tak ada bandingannya. Ia adalah Ibu dan Ayah bagi kami. Aku,Nana dan Lala. Ayah masih ada. Masih bekerja untuk hidupnya. Mungkin juga untuk anak-anaknya. Tapi Mama tak pernah meninggalkan kita. Meski hanya sesuap nasi hasil ngojeg dan jualan kerupuknya. Ia tetap wanita perkasa dihidupku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar