Keluarga merupakan lembaga sosial
terkecil masyarakat yang berperan penting bagi kesejahteraan anggotanya.
Pembentukan pribadi seorang anak juga terbentuk sebagaimana lingkungan yang
tercipta dalam keluarganya. Menurut Duvall dan Logan (1986), keluarga adalah
sekumpulan orang dengan ikatan perkawinan, kelahiran, dan adopsi, yang
bertujuan untuk menciptakan, mempertahankan budaya, dan meningkatkan
perkembangan fisik, mental, emosional, serta sosial dari tiap anggota keluarga.
Dalam keluarga, suami menjadi pemimpin disetiap pengambilan keputusan, dan
istri sebagai penyelaras keputusan tersebut. Bicara soal keluarga, pembentukan
karakter anak diajarkan melalui ibunya. Peran ibu yang demokratis akan
memudahkan penyelesaian problematika anak masa kini. Melalui nalurinya, ibu
tahu apa yang harus dilakukan untuk anak-anaknya. Ibu bukan saja menjadi tempat
bernaung yang harus dihormati dan menjadi contoh bagi anak-anaknya, namun Ibu
juga harus mampu menjadi mitra anak. Sehingga kadangkala ibu harus siap menjadi
pendengar yang baik dan setia untuk memberikan kenyamanan dan ketentraman bagi
anaknya. Bukan berarti peran ayah tidak penting, melainkan pada diri seorang
ibu dicirikan dengan watak teliti, terampil, dan sangat hati-hati yang pas
untuk mendampingi anak dalam tumbuh kembangnya. Itu sebabnya ibu selalu menjadi
tempat berlindung anak apabila ayahnya sedang marah atau tidak
bersahabat. Kecanggihan teknologi serta beragam budaya baru merasuk cepat
melalui lingkungan. Keadaan ini telah merubah sikap seorang anak menjadi tidak
peduli dan mengacuhkan lingkungan sekitar. Tujuh peran ibu ideal berikut ini
bisa diterapkan oleh para ibu dirumah dikutip dari buku karya Al. Tridhonanto, Mengembangkan
Pola Asuh Demokratis yang mampu mengembangkan karakter baik pada anak:
Pertama, bersikap luwes saat
dibutuhkan. Seorang ibu menyadari ada saatnya mereka bersikap tidak kaku agar
kedekatan pada anak seperti tanpa sekat. Seorang ibu pada waktu ini adalah yang
bisa diajak anaknya bercanda, mencurahkan keluh kesah permasalahan, dan menjadi
pendengar setia sang anak. Dengan begitu anak akan merasa lega dan menjadikan
ibu sebagai pelarian utama mereka saat sedih.
Kedua, menjadi teladan yang baik.
Ibu menjadi teladan pertama anak-anaknya. Melakukan kewajiban beribadah,
diskusi saat waktu belajar, maupun mengajarkan sopan santun, dapat memengaruhi
kebiasaan anak. Bila anak-anak dibesarkan dalam lingkungan yang penuh kasih
sayang dan kebiasaan bermanfaat, maka anak-anak akan mengamalkan nilai yang
diajarkan ketika mereka dewasa nanti.
Ketiga, memberi konsekuensi yang
jelas atas pelanggaran peraturan. Dengan memastikan konsekuensi tersebut sesuai
tingkat pelanggarannya, dan mengandung nilai moral untuk dipelajari. Ibu tak
perlu memarahi atau memukul anak ketika mereka berbuat salah. Ibu cukup
memberikan peraturan yang telah disepakati bersama anak serta hukuman apa yang
akan dijatuhkan ketika anak melanggar peraturan yang telah disepakatinya itu.
Hal ini guna membiasakan anak belajar bertanggung jawab dengan apa yang
diperbuatnya. Anak juga akan tahu dimana letak kesalahannya dan merasa tak
patut untuk mengulanginya lagi.
Keempat, membina percakapan
ringan dengan anak setiap hari. Untuk mengetahui apa yang sedang terjadi dalam
kehidupan anak, seorang ibu perlu mengamalkan pendekatan ini. Dengan memberi
pujian dalam setiap keberhasilannya dan memberikan kata-kata positif saat
mereka berbuat salah. Anak akan lebih memahami dirinya saat ibu mampu
menanggapi anak dengan baik. Kata-kata motivasi adalah salah satu kekuatan bagi
anak untuk mempelajari masalahnya dan terinspirasi oleh ibunya.
Kelima, menentukan standar
perilaku yang jelas dalam kehidupan hariannya. Ibu menerapkan kebiasaan
perilaku baik setiap harinya dalam rumah. Namun adakalanya anak belum memahami
sepenuhnya mana benar dan salah. Terlebih remaja, seorang ibu bagi anak anak
usia remaja ini lebih baiknya menghindari ungkapan ‘jangan’ pada anak. Ibu bisa
menunjukkan sesuatu yang benar dengan tanpa paksaan. Pastinya setiap ibu punya
cara berbeda-beda dalam hal ini.
Keenam, mengembangkan kemampuan
anak untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya. Ketika anak jenuh dengan
semua yang ibu terapkan, ibu harus sabar menghadapi hal ini. Karena sebenarnya
timbal balik dari anak akan lebih lamban terhadap apa yang ibu berikan. Ibu
paling mengerti saat situasi seperti ini. Ada baiknya seorang ibu mengalihkan
kemarahan dirinya sejenak agar dapat memahami maksud dari apa yang anak
inginkan. Anak-anak tidak akan melupakan apa yang sudah menjadi tanggung
jawabnya, maka dari itu ibu harus sering berkomunikasi tentang apa yang kurang
dana apa yang berlebihan bagi mereka, agar tidak terjadi miskomunikasi
nantinya. Ketika ada perbedaan pendapat, ibu cukup menjelaskan sebab akibat
dari hal yang terjadi beserta alasannya.
Ketujuh, menghargai keunikan
anak. Anak-anak dapat tumbuh dan menjadi orang yang sama sekali berbeda dengan
orang tuanya. Setiap anak mempunyai keunikan masing-masing, baik dalam potensi
maupun karakter yang tidak bisa disamakan. Saat perbedaan ini muncul, sangatlah
penting bagi ibu agar membimbing suaminya untuk menghargai dan menerima
perbedaan anaknya tersebut. Justru dengan perbedaanlah cerita keluarga semakin
berwarna. Adanya perbedaan tersebut diharapkan tidak merubah keharmonisan
keluarga.
Peran ibu sangat dibutuhkan pada
pembentukan karakter anak. Ibu harus lebih berhati-hati dalam menempatkan
lingkungan anak-anaknya. Kecanggihan teknologi yang digunakan tanpa pengawasan
dapat berakibat fatal bagi anak-anak kita, baik berdampak langsung maupun
tidak. Peran seorang ibu diharapkan mampu meminimalisir permasalahan tersebut.
Bayangkan jika di dunia ini ibu berhasil menanamkan karakter baik pada
anak-anaknya, seperti bertanggung jawab, jujur, disiplin, dan penyayang.
Mungkin segala kejahatan hanya ada dikhayalan kita. Sayangnya, tidak semua ibu memahami
hal itu. Perbedaan pola pikir dalam pengasuhan anak juga menjadi awal masalah
yang tidak terselesaikan. Ada seorang ibu membiarkan anak-anaknya berkeliaran
di jalanan untuk mengemis atau ngamen. Lebih kejam lagi justru mereka
(orang tua) yang menyuruhnya melakukan perilaku buruk tersebut. Hanya berdalih
tak cukup uang untuk memenuhi hidup, lalu para orang tua itu mempekerjakan
anak-anaknya begitu saja. Adalagi seorang ibu yang membiarkan anaknya di mall
seharian hanya dengan memberikannya uang saku untuk bermain, belanja, dan
apasaja sesuka hati mereka. Sedangkan ibunya entah sibuk urusan apa. Kebiasaan
perilaku seperti inilah yang menjadi awal dari paradigma buruk penerus kita.
Mereka fikir hal seperti itu (mengemis, ngamen, belanja, dan lainnya) lumrah dan
biasa. Sebab dahulu mereka juga hidup seperti itu. Atau suatu hari mereka sadar
namun enggan membenahinya. Mereka mengira itu takdir, jalan hidup, atau sesuatu
yang sudah digariskan Tuhan dalam hidupnya. Tidakkah semua itu berangkat dari
orang tua yang menanamkan pemikiran keliru pada anak tentang hidup? Hal sepele
seperti ini akan berdampak buruk saat dilakukan terus menerus. Para Ibu harus
berfikir kritis sejak dini demi kelangsungan hidup putra-putrinya kelak.
Sebagai seorang yang paling dekat dengan anaknya, ibu diyakini dapat memberi
dukungan moral maupun spiritual pada anak melalui langkah sederhana dan
kontinu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar