Kamis, 28 Juli 2016

7 Peran Ibu Ideal dalam Pembentukan Karakter Anak

Keluarga merupakan lembaga sosial terkecil masyarakat yang berperan penting bagi kesejahteraan anggotanya. Pembentukan pribadi seorang anak juga terbentuk sebagaimana lingkungan yang tercipta dalam keluarganya. Menurut Duvall dan Logan (1986), keluarga adalah sekumpulan orang dengan ikatan perkawinan, kelahiran, dan adopsi, yang bertujuan untuk menciptakan, mempertahankan budaya, dan meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional, serta sosial dari tiap anggota keluarga. Dalam keluarga, suami menjadi pemimpin disetiap pengambilan keputusan, dan istri sebagai penyelaras keputusan tersebut. Bicara soal keluarga, pembentukan karakter anak diajarkan melalui ibunya. Peran ibu yang demokratis akan memudahkan penyelesaian problematika anak masa kini. Melalui nalurinya, ibu tahu apa yang harus dilakukan untuk anak-anaknya. Ibu bukan saja menjadi tempat bernaung yang harus dihormati dan menjadi contoh bagi anak-anaknya, namun Ibu juga harus mampu menjadi mitra anak. Sehingga kadangkala ibu harus siap menjadi pendengar yang baik dan setia untuk memberikan kenyamanan dan ketentraman bagi anaknya. Bukan berarti peran ayah tidak penting, melainkan pada diri seorang ibu dicirikan dengan watak teliti, terampil, dan sangat hati-hati yang pas untuk mendampingi anak dalam tumbuh kembangnya. Itu sebabnya ibu selalu menjadi tempat berlindung anak apabila ayahnya sedang  marah atau tidak bersahabat. Kecanggihan teknologi serta beragam budaya baru merasuk cepat melalui lingkungan. Keadaan ini telah merubah sikap seorang anak menjadi tidak peduli dan mengacuhkan lingkungan sekitar. Tujuh peran ibu ideal berikut ini bisa diterapkan oleh para ibu dirumah dikutip dari buku karya Al. Tridhonanto, Mengembangkan Pola Asuh Demokratis yang mampu mengembangkan karakter baik pada anak:
Pertama, bersikap luwes saat dibutuhkan. Seorang ibu menyadari ada saatnya mereka bersikap tidak kaku agar kedekatan pada anak seperti tanpa sekat. Seorang ibu pada waktu ini adalah yang bisa diajak anaknya bercanda, mencurahkan keluh kesah permasalahan, dan menjadi pendengar setia sang anak. Dengan begitu anak akan merasa lega dan menjadikan ibu sebagai pelarian utama mereka saat sedih.
Kedua, menjadi teladan yang baik. Ibu menjadi teladan pertama anak-anaknya. Melakukan kewajiban beribadah, diskusi saat waktu belajar, maupun mengajarkan sopan santun, dapat memengaruhi kebiasaan anak. Bila anak-anak dibesarkan dalam lingkungan yang penuh kasih sayang dan kebiasaan bermanfaat, maka anak-anak akan mengamalkan nilai yang diajarkan ketika mereka dewasa nanti.
Ketiga, memberi konsekuensi yang jelas atas pelanggaran peraturan. Dengan memastikan konsekuensi tersebut sesuai tingkat pelanggarannya, dan mengandung nilai moral untuk dipelajari. Ibu tak perlu memarahi atau memukul anak ketika mereka berbuat salah. Ibu cukup memberikan peraturan yang telah disepakati bersama anak serta hukuman apa yang akan dijatuhkan ketika anak melanggar peraturan yang telah disepakatinya itu. Hal ini guna membiasakan anak belajar bertanggung jawab dengan apa yang diperbuatnya. Anak juga akan tahu dimana letak kesalahannya dan merasa tak patut untuk mengulanginya lagi.
Keempat, membina percakapan ringan dengan anak setiap hari. Untuk mengetahui apa yang sedang terjadi dalam kehidupan anak, seorang ibu perlu mengamalkan pendekatan ini. Dengan memberi pujian dalam setiap keberhasilannya dan memberikan kata-kata positif saat mereka berbuat salah. Anak akan lebih memahami dirinya saat ibu mampu menanggapi anak dengan baik. Kata-kata motivasi adalah salah satu kekuatan bagi anak untuk mempelajari masalahnya dan terinspirasi oleh ibunya.
Kelima, menentukan standar perilaku yang jelas dalam kehidupan hariannya. Ibu menerapkan kebiasaan perilaku baik setiap harinya dalam rumah. Namun adakalanya anak belum memahami sepenuhnya mana benar dan salah. Terlebih remaja, seorang ibu bagi anak anak usia remaja ini lebih baiknya menghindari ungkapan ‘jangan’ pada anak. Ibu bisa menunjukkan sesuatu yang benar dengan tanpa paksaan. Pastinya setiap ibu punya cara berbeda-beda dalam hal ini.
Keenam, mengembangkan kemampuan anak untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya. Ketika anak jenuh dengan semua yang ibu terapkan, ibu harus sabar menghadapi hal ini. Karena sebenarnya timbal balik dari anak akan lebih lamban terhadap apa yang ibu berikan. Ibu paling mengerti saat situasi seperti ini. Ada baiknya seorang ibu mengalihkan kemarahan dirinya sejenak agar dapat memahami maksud dari apa yang anak inginkan. Anak-anak tidak akan melupakan apa yang sudah menjadi tanggung jawabnya, maka dari itu ibu harus sering berkomunikasi tentang apa yang kurang dana apa yang berlebihan bagi mereka, agar tidak terjadi miskomunikasi nantinya. Ketika ada perbedaan pendapat, ibu cukup menjelaskan sebab akibat dari hal yang terjadi beserta alasannya.
Ketujuh, menghargai keunikan anak. Anak-anak dapat tumbuh dan menjadi orang yang sama sekali berbeda dengan orang tuanya. Setiap anak mempunyai keunikan masing-masing, baik dalam potensi maupun karakter yang tidak bisa disamakan. Saat perbedaan ini muncul, sangatlah penting bagi ibu agar membimbing suaminya untuk menghargai dan menerima perbedaan anaknya tersebut. Justru dengan perbedaanlah cerita keluarga semakin berwarna. Adanya perbedaan tersebut diharapkan tidak merubah keharmonisan keluarga.
Peran ibu sangat dibutuhkan pada pembentukan karakter anak. Ibu harus lebih berhati-hati dalam menempatkan lingkungan anak-anaknya. Kecanggihan teknologi yang digunakan tanpa pengawasan dapat berakibat fatal bagi anak-anak kita, baik berdampak langsung maupun tidak. Peran seorang ibu diharapkan mampu meminimalisir permasalahan tersebut. Bayangkan jika di dunia ini ibu berhasil menanamkan karakter baik pada anak-anaknya, seperti bertanggung jawab, jujur, disiplin, dan penyayang. Mungkin segala kejahatan hanya ada dikhayalan kita. Sayangnya, tidak semua ibu memahami hal itu. Perbedaan pola pikir dalam pengasuhan anak juga menjadi awal masalah yang tidak terselesaikan. Ada seorang ibu membiarkan anak-anaknya berkeliaran di jalanan untuk mengemis atau ngamen. Lebih kejam lagi justru mereka (orang tua) yang menyuruhnya melakukan perilaku buruk tersebut. Hanya berdalih tak cukup uang untuk memenuhi hidup, lalu para orang tua itu mempekerjakan anak-anaknya begitu saja. Adalagi seorang ibu yang membiarkan anaknya di mall seharian hanya dengan memberikannya uang saku untuk bermain, belanja, dan apasaja sesuka hati mereka. Sedangkan ibunya entah sibuk urusan apa. Kebiasaan perilaku seperti inilah yang menjadi awal dari paradigma buruk penerus kita. Mereka fikir hal seperti itu (mengemis, ngamen, belanja, dan lainnya) lumrah dan biasa. Sebab dahulu mereka juga hidup seperti itu. Atau suatu hari mereka sadar namun enggan membenahinya. Mereka mengira itu takdir, jalan hidup, atau sesuatu yang sudah digariskan Tuhan dalam hidupnya. Tidakkah semua itu berangkat dari orang tua yang menanamkan pemikiran keliru pada anak tentang hidup? Hal sepele seperti ini akan berdampak buruk saat dilakukan terus menerus. Para Ibu harus berfikir kritis sejak dini demi kelangsungan hidup putra-putrinya kelak. Sebagai seorang yang paling dekat dengan anaknya, ibu diyakini dapat memberi dukungan moral maupun spiritual pada anak melalui langkah sederhana dan kontinu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar